Selasa, 06 Januari 2015

Pengertian Komunikasi Politik


          Komunikasi politik merupakan komunikasi yang bercirikan politik yang terjadi di dalam sebuah sistem politik. Komunikasi politik dapat berbentuk penyampaian pesan-pesan yang berdampak politik dari penguasa politik kepada rakyat ataupun penyampaian dukungan atau tuntutan oleh rakyat bagi penguasa politik. Istilah komunikasi politik lahir dari dua istilah yaitu ”komunikasi” dan ”politik”. Hubungan kedua istilah itu dinilai bersifat intim dan istimewa karena pada domain politik, proses komunikasi menempati fungsi yang fundamental. Bagaimanapun pendekatan komunikasi telah membantu memberikan pandangan yang mendalam dan lebih luas mengenai perilaku politik.
Definisi mengenai komunikasi politik dapat dikemukakan oleh Denton dan Woodward (dalam Pawito, 2009), keduanya mengatakan bahwa komunikasi politik merupakan “Diskusi publik mengenai penjatahan sumber daya publik – yakni mengenai pembagian pendapatan atau penghasilan yang diterima oleh publik, kewenangan resmi – yakni siapa yang diberi kekuasaan untuk membuat keputusan-keputusan hukum, membuat peraturan-peraturan, dan melaksanakan peraturan-peraturan; dan sanksi-sanksi resmi – yakni apa yang negara berikan sebagai ganjaran atau mungkin hukuman”.
Pengertian ini lebih mengedepankan interaksi antara negara (the state) dengan rakyat atau publik. Interaksi ini dalam berbagai realitas politik dapat dicermati melalui pertanyaan-pertanyaan realistis, misalnya, apa yang diperoleh rakyat, bagaimana keputusan-keputusan penyelenggara negara dibuat – adil ataukah tidak, dan sejauh mana rakyat mau mernerima penjatahan yang ada (Pawito, 2009).
Sedangkan menurut Fagen, komunikasi politik adalah segala komunikasi yang terjadi dalam suatu sistem politik dan antara sistem tersebut dengan lingkungannya. Lain lagi dengan Muller yang merumuskan komunikasi politik sebagai hasil yang bersifat politik (political outcomes), dari kelas sosial, pola bahasa, dan sosialisasi. Selanjutnya Gallnor menyebutkan bahwa komunikasi politik merupakan infra-struktur politik, yaitu kombinasi dari berbagai interaksi sosial di mana informasi yang berkaitan dengan usaha bersama dan hubungan kekuasaan masuk ke dalam peredaran (Nasution, 1990).
Rumusan Gallnor menempatkan komunikasi sebagai suatu fungsi politik bersama-sama dengan fungsi artikulasi, agregasi, sosialisasi, dan rekrutmen dalam sistem politik. Menurut Almond, komunikasi politik adalah salah satu fungsi yang harus ada dalam setiap sistem politik sehingga terbuka kemungkinan bagi para ilmuwan untuk memperbandingkan berbagai sistem politik dengan berbagai latar belakang budaya yang berbeda. Bagi Almond, semua sistem politik yang pernah, sedang dan akan ada mempunyai persamaan mendasar yaitu adanya kesamaan fungsi yang dijalankannya (Nasution, 1990) 
Dari sudut rujukan ilmiah, pemikiran dari Fagen (dalam Hasrullah, 2001) menggambarkan relevansi bidang kajian ilmu politik dan komunikasi. Hal tersebut terlihat dari gambaran analisis yang disajikan, membicarakan peristiwa-peristiwa politik yang berdimensi komunikasi. Kemudian juga rujukan yang dipergunakan dalam melihat komunikasi dan politik masih memakai kerangka dasar (framework) dari Harold D. Lasswell (1948), yaitu: Who says What, in Which Channel, To Whom, Whit What Effect.
  Dengan formulasi klasik dari Lasswell ini, secara langsung juga dilihatnya bahwa problem-problem komunikasi politik dapat dianalisis dengan menggunakan kerangka dasar ini. Dan pendekatan yang dilakukannya tentunya dilihat secara mekanistis, apakah itu konsep pengaruh atau kekuasaan.
  Dari pandangan di atas terungkap, bahwa disiplin ilmu yang digunakan dalam komunikasi politik sangat multi disipliner sifatnya, sehingga dalam pengkajian yang dinamis tentunya membutuhkan paradigma yang luas dari berbagai disiplin ilmu.
Karena itu, seperti dikatakan Rush dan Althoff (1997), komunikasi politik memainkan peranan yang amat penting di dalam suatu sistem politik. Ia merupakan elemen dinamis, dan menjadi bagian yang menentukan dari proses-proses sosialisasi politik, partisipasi politik, dan rekrutmen politik. Sedangkan dalam konteks sosialisasi politik, Graber (1984) memandang komunikasi politik ini sebagai proses pembelajaran, penerimaan, dan persetujuan  atas kebiasaan-kebiasaan (customs) atau aturan-aturan (rules), struktur dan faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap kehidupan politik. Ia menempati posisi penting dalam kehidupan sosial-politik karena dapat mempengaruhi kualitas interaksi antara masyarakat dan penguasa.
           Dari beberapa pengertian di atas, jelas komunikasi politik adalah suatu proses komunikasi yang memiliki implikasi atau konsekuensi terhadap aktivitas politik. Faktor ini pula yang membedakan dengan disiplin komunikasi lainnya seperti komunikasi pendidikan, komunikasi bisnis, komunikasi antar budaya, dan semacamnya. Perbedaan itu terletak pada isi ‘pesan’. Artinya komunikasi politik memiliki pesan yang bermuatan politik, sementara komunikasi pendidikan memiliki pesan-pesan  yang bermuatan pendidikan. Jadi untuk membedakan antara satu disiplin dengan disiplin lainnya dalam studi ilmu komunikasi, terletak pada sifat atau pesannya.   
              Komunikasi politik menyalurkan aspirasi dan kepentingan politik rakyat yang menjadi input sistem politik. Dan pada waktu yang bersamaan komunikasi politik juga menyalurkan       kebijakan yang diambil atau output dari sistem politik. Dengan demikian melalui komunikasi politik maka rakyat dapat memberikan dukungan, menyampaikan aspirasi dan melakukan pengawasan terhadap sistem politik.
Unsur-unsur yang terlibat dalam komunikasi politik ini terbagi dua, yaitu unsur suprastruktur dan infrastruktur politik. Suprastruktur politik terdiri dari; lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Sedangkan infrastruktur politik terdiri dari; partai politik, interest group, media massa, tokoh masyarakat, dan lainnya. Menurut VJ. Bell ada tiga jenis pembicaraan dalam pengertian politik yang mempunyai kepentingan politik yang jelas sekali politis, yaitu; pembicaraan kekuasaan (mempengaruhi dengan ancaman atau janji), pembicaraan pengaruh (tanpa sanksi), dan pembicaraan otoritas berupa perintah (Littlejohn, 2005).
Komunikasi politik harus dilakukan dengan intensif dan persuasif agar komunikasi dapat berhasil dan efektif. Adapun faktor yang mempengaruhi keberhasilan dari komunikasi politik yaitu; status komunikator, kredibilitas komunikator, dan daya pikat komunikator. Carl Hoveland, seorang ahli komunikasi mengatakan bahwa terbentuknya sikap suatu proses komunikasi selalu berhubungan dengan penyampaian stimuli yang biasanya dalam bentuk lisan oleh komunikator kepada komunikan guna mengubah perilaku orang lain (Nimmo, 2005). Pendapat Hoveland ini menyangkut efek dari suatu proses komunikasi persuasif. Asumsi dasar dari Hoveland adalah bahwa sikap seseorang maupun perubahannya tergantung pada proses komunikasi yang berlangsung apakah komunikasi itu diperhatikan, dipahami, dan diterima dengan baik.

Referensi:
Nimmo, Dan. 2005. Komunikasi Politik. Komunikator, Pesan, dan Media. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Graber, Doris A. 1984. Mass Media and American Politics. Washington DC: CQ Press
Hasrullah. 2001. Megawati dalam Tanggapan Pers. Yogyakarta: LKiS
Littlejohn, Stephen W and Karen A. Foss. 2005. Theories of Human Communication. New Mexico: Wadsworth, Thomson Learning.
Pawito. 2009. Komunikasi Politik: Media Massa dan Kampanye Pemilihan. Yogyakarta: Jalasutra
Rush dan Althoff, 1997, Pengantar Sosial Politik. Jakarta: Raja Grafindo
Nasution, Zulkarimein. 1990. Komunikasi Politik: Suatu Pengantar. Jakarta: Ghalia Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar