Dalam
banyak ulasan tentang komunikasi politik diketahui adanya keterkaitan
komunikasi politik dengan proses pembentukan opini publik. Misalnya, Astrid S. Susanto
(1985) memberikan batasan tentang komunikasi politik dengan menyebutkan adanya
unsur-unsur masalah yang dibahas dengan melibatkan orang banyak. Di sisi lain,
opini publik sendiri, seperti didefinisikan Hennessy (1975), merupakan suatu kompleksitas pilihan-pilihan yang
dinyatakan oleh banyak orang berkaitan dengan sesuatu isu yang dipandang
penting oleh umum. Menurutnya, definisi ini relatif lebih bersifat akademik dan
berbeda dari definisi-definisi yang pada umumnya digunakan oleh para politisi.
Ia juga menambahkan bahwa opini publik itu selalu melibatkan banyak orang yang
tertarik untuk memikirkan sesuatu isu dalam waktu yang cukup panjang. Meskipun
demikian, istilah “publik” sendiri tidak selalu ditentukan oleh banyaknya
jumlah orang yang menganut opini tersebut. Istilah “publik” justru diukur oleh
apakah sesuatu opini itu menyangkut isu publik atau tidak.
Publik juga ditandai oleh adanya sesuatu isu
yang dihadapi dan dibincangkan oleh kelompok kepentingan yang dimaksud. Selain
itu, publik juga bersifat kontroversial, sehingga dapat mengundang terjadinya
proses diskusi (Nasution, 1990). Sedangkan dalam konteks politik, opini publik
baru dikatakan relevan dan menjadi salah satu faktor politik jika dalam banyak hal ia berpengaruh terhadap
proses pengambilan dan pelaksanaan sesuatu keputusan oleh para penyelenggara
negara dan para politisi lainnya (Kousoulas, 1979). Karena itu opini publik
dapat saja bermula dari gagasan individual yang kemudian mendapat perhatian
pemerintah dan dipandang penting oleh publik.
Sekarang jarang sekali dijumpai bentuk
partisipasi rakyat langsung dalam pengambilan keputusan publik. Sebagian besar
praktik demokrasi menggunakan sistem perwakilan seperti halnya yang ada di
Indonesia saat ini. Menurut Rodee (dalam Muhtadi 2008), sistem ini terutama
didasarkan pada anggapan umum bahwa: (1) publik berkepentingan terhadap
kebijakan publik; (2) publik mendapatkan informasi; (3) publik secara sadar
akan membuat keputusan rasional; (4) pendapat-pendapat individual yang rasional
itu cenderung memiliki kesamaan dalam orde sosial; (50 publik yang telah
mengambil keputusan akan menyalurkannya melalui polling atau dengan cara-cara
lain; (6) kehendak publik, atau paling tidak kehendak mayoritas, akan
diwujudkan menjadi hukum positif; dan (7) pengamatan berkelanjutan dan kritik
yang ajeg akan memastikan terpeliharanya opini publik yang tercerahkan, dan
sebagai konsekuensinya kebijakan publik dilandasi oleh prinsip-prinsip moral
dan keadilan sosial.
Prinsip-prinsip inilah
yang menjadikan opini publik memgang peranan penting dalam komunikasi politik,
meskipun pada praktiknya tidak secara langsung menentukan kebijakan publik.
Melalui proses komunikasi politik, sesuatu opini dapat berubah menjadi opini publik sesuai dengan kepentingan
pihak-pihak yang memprakarsai berlangsungnya komunikasi. Karena sifatnya
seperti media massa, ataupun tumbuh secara alamiah di tengah-tengah dinamika
sosial politik sesuatu masyarakat. Dalam kehidupan politik dan sosial
kemasyarakatan dalam arti yang luas, opini publik senantiasa menjadi
pertimbangan penting. Sedangkan dari sisi prosesnya, opini publik dapat
terbentuk melalui kegiatan komunikasi politik, baik yang dilakukan oleh
sumber-sumber individual mapun kolektif.
Opini publik juga dapat berubah
sesuai dengan tujuan para pemrakarsanya. Di Negara-negara demokratis yang telah
lama mempraktikkan komunikasi secara bebas, para politisi ataupun masyarakat
umum sangat memperhatikan pentingnya perubahan opini publik. Hasil-hasil
polling pendapat, dengan segala kelemahan dan keraguan atas akurasinya, tetap
menjadi salah satu acuan bagi para politisi dalam melakukan perubahan dan
pembentukan opini publik, terutama menjelang pelaksanaan pemilihan umum. Karena
itu, mengingat pentingnya sikap politik warga Negara ataupun opini publik,
mereka selalu mengembangkan konsep-konsep baru berkenaan dengan pembentukan
opini publik. Berbagai riset dilakukan untuk memberikan muatan-muatan yang
relevan terhadap jalannya komunikasi politik.
Dalam komunikasi politik, warga
Negara atau publik sebagai konstituen para politisi dapat berperan sebagai
komunikator ketika menyalurkan aspirasi atau tuntutan, dan pada saat yang sama
mereka juga berperan sebagai khalayak komunikasi ketika menerima pesan-pesan
dari para politisi ataupun aparat birokrasi. Perilaku politik mereka
dipengaruhi oleh interaksi dengan lingkungannya masing-masing. Rodee (dalam Muhtadi
2008), menyebutkan beberapa
arena interaksi politis yang pokok, yaitu (1) komunitas, tempat pengetahuan
publik berkembang dari pengalamannya mengikuti pola budaya masyarakat sehingga
rasa kesetiaan pun terbentuk, dan sikap terhadap adat-istiadat serta
aturan-aturan lainnya terkondisikan; (2) institusi sosial seperti rumah,
sekolah, tempat ibadah, dan pemerintah, juga mempengaruhi pembentukan
nilai-nilai personal dan sistem kepercayaan; dan(3) area gejala politis seperti
para politisi, lembaga kebijakan, dan perilaku yang membentuk budaya politik.
Karena itu singkatnya, dampak interaksi antara totalitas kepribadian dengan
totalitas pengalaman politis menyediakan bahan baku bagi pembentukan sikap dan
ekspresi pendapat-pendapat individual.
Lalu bagaimana peran komunikasi
politik dalam proses pembentukan opini publik. Berkenaan dengan hal itu, dapat
dianalisis faktor-faktor penting yang mendorong terbentuknya opini publik. Menurut Astrid S. Susanto (1985) menjelaskan beberapa unsur yang terkandung
dalam suatu pendapat umum, yaitu: (1) memungkinkan terjadinya pro dan kontra,
terutama sebelum tercapainya suatu konsensus; (2) melibatkan lebih dari
seorang, atau dalam istilah Hennessy disebut ukuran publik; (3) dinyatakan,
yakni opini yang dikomunikasikan secara
terbuka; dan (4) memungkinkan atau mengundang adanya tanggapan. Selain itu,
pembentukan pendapat umum juga ikut dipengaruhi oleh jarak geografis, pengetahuan, dan sikap khalayak. Karena itu,
seseorang atau sekelompok orang yang bermaksud membangun opini publik,
selayaknya mengetahui kondisi khalayak yang sebenarnya, serta perlu
mengupayakan agar sikap khalayak yang bersangkutan dapat menguntungkan.
Referensi
Muhtadi, Asep Saiful. 2008. Komunikasi
politik Indonesia: Dinamika Islam Politik Pasca Orde Baru. Bandung: Remaja
Rosdakarya
Susanto, Astrid S. 1985. Komunikasi Sosial di Indonesia. Bandung:
Bina Cipta
Yayasan Obor Indonesia
Hennessy, Bernard. 1975. Essentiaoof
Public Opinion. Massachusetts: Duxbury Press
Kousoulas, D. George. 1979. On Goverment
and Politics. Massachusetts: Duxbury Press
Nasution, Zulkarimein. 1990. Komunikasi Politik: Suatu
Pengantar. Jakarta: Ghalia Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar