Selasa, 06 Januari 2015

Komunikasi Politik dan Opini Publik


Dalam banyak ulasan tentang komunikasi politik diketahui adanya keterkaitan komunikasi politik dengan proses pembentukan opini publik. Misalnya, Astrid S. Susanto (1985) memberikan batasan tentang komunikasi politik dengan menyebutkan adanya unsur-unsur masalah yang dibahas dengan melibatkan orang banyak. Di sisi lain, opini publik sendiri, seperti didefinisikan Hennessy (1975), merupakan suatu kompleksitas pilihan-pilihan yang dinyatakan oleh banyak orang berkaitan dengan sesuatu isu yang dipandang penting oleh umum. Menurutnya, definisi ini relatif lebih bersifat akademik dan berbeda dari definisi-definisi yang pada umumnya digunakan oleh para politisi. Ia juga menambahkan bahwa opini publik itu selalu melibatkan banyak orang yang tertarik untuk memikirkan sesuatu isu dalam waktu yang cukup panjang. Meskipun demikian, istilah “publik” sendiri tidak selalu ditentukan oleh banyaknya jumlah orang yang menganut opini tersebut. Istilah “publik” justru diukur oleh apakah sesuatu opini itu menyangkut isu publik atau tidak.
       Publik juga ditandai oleh adanya sesuatu isu yang dihadapi dan dibincangkan oleh kelompok kepentingan yang dimaksud. Selain itu, publik juga bersifat kontroversial, sehingga dapat mengundang terjadinya proses diskusi (Nasution, 1990). Sedangkan dalam konteks politik, opini publik baru dikatakan relevan dan menjadi salah satu faktor politik jika dalam banyak hal ia berpengaruh terhadap proses pengambilan dan pelaksanaan sesuatu keputusan oleh para penyelenggara negara dan para politisi lainnya (Kousoulas, 1979). Karena itu opini publik dapat saja bermula dari gagasan individual yang kemudian mendapat perhatian pemerintah dan dipandang penting oleh publik.
       Sekarang jarang sekali dijumpai bentuk partisipasi rakyat langsung dalam pengambilan keputusan publik. Sebagian besar praktik demokrasi menggunakan sistem perwakilan seperti halnya yang ada di Indonesia saat ini. Menurut Rodee (dalam Muhtadi 2008), sistem ini terutama didasarkan pada anggapan umum bahwa: (1) publik berkepentingan terhadap kebijakan publik; (2) publik mendapatkan informasi; (3) publik secara sadar akan membuat keputusan rasional; (4) pendapat-pendapat individual yang rasional itu cenderung memiliki kesamaan dalam orde sosial; (50 publik yang telah mengambil keputusan akan menyalurkannya melalui polling atau dengan cara-cara lain; (6) kehendak publik, atau paling tidak kehendak mayoritas, akan diwujudkan menjadi hukum positif; dan (7) pengamatan berkelanjutan dan kritik yang ajeg akan memastikan terpeliharanya opini publik yang tercerahkan, dan sebagai konsekuensinya kebijakan publik dilandasi oleh prinsip-prinsip moral dan keadilan sosial.
         Prinsip-prinsip inilah yang menjadikan opini publik memgang peranan penting dalam komunikasi politik, meskipun pada praktiknya tidak secara langsung menentukan kebijakan publik. Melalui proses komunikasi politik, sesuatu opini dapat berubah menjadi  opini publik sesuai dengan kepentingan pihak-pihak yang memprakarsai berlangsungnya komunikasi. Karena sifatnya seperti media massa, ataupun tumbuh secara alamiah di tengah-tengah dinamika sosial politik sesuatu masyarakat. Dalam kehidupan politik dan sosial kemasyarakatan dalam arti yang luas, opini publik senantiasa menjadi pertimbangan penting. Sedangkan dari sisi prosesnya, opini publik dapat terbentuk melalui kegiatan komunikasi politik, baik yang dilakukan oleh sumber-sumber individual mapun kolektif.
     Opini publik juga dapat berubah sesuai dengan tujuan para pemrakarsanya. Di Negara-negara demokratis yang telah lama mempraktikkan komunikasi secara bebas, para politisi ataupun masyarakat umum sangat memperhatikan pentingnya perubahan opini publik. Hasil-hasil polling pendapat, dengan segala kelemahan dan keraguan atas akurasinya, tetap menjadi salah satu acuan bagi para politisi dalam melakukan perubahan dan pembentukan opini publik, terutama menjelang pelaksanaan pemilihan umum. Karena itu, mengingat pentingnya sikap politik warga Negara ataupun opini publik, mereka selalu mengembangkan konsep-konsep baru berkenaan dengan pembentukan opini publik. Berbagai riset dilakukan untuk memberikan muatan-muatan yang relevan terhadap jalannya komunikasi politik.
        Dalam komunikasi politik, warga Negara atau publik sebagai konstituen para politisi dapat berperan sebagai komunikator ketika menyalurkan aspirasi atau tuntutan, dan pada saat yang sama mereka juga berperan sebagai khalayak komunikasi ketika menerima pesan-pesan dari para politisi ataupun aparat birokrasi. Perilaku politik mereka dipengaruhi oleh interaksi dengan lingkungannya masing-masing. Rodee (dalam Muhtadi 2008), menyebutkan beberapa arena interaksi politis yang pokok, yaitu (1) komunitas, tempat pengetahuan publik berkembang dari pengalamannya mengikuti pola budaya masyarakat sehingga rasa kesetiaan pun terbentuk, dan sikap terhadap adat-istiadat serta aturan-aturan lainnya terkondisikan; (2) institusi sosial seperti rumah, sekolah, tempat ibadah, dan pemerintah, juga mempengaruhi pembentukan nilai-nilai personal dan sistem kepercayaan; dan(3) area gejala politis seperti para politisi, lembaga kebijakan, dan perilaku yang membentuk budaya politik. Karena itu singkatnya, dampak interaksi antara totalitas kepribadian dengan totalitas pengalaman politis menyediakan bahan baku bagi pembentukan sikap dan ekspresi pendapat-pendapat individual.
        Lalu bagaimana peran komunikasi politik dalam proses pembentukan opini publik. Berkenaan dengan hal itu, dapat dianalisis faktor-faktor penting yang mendorong terbentuknya opini publik. Menurut Astrid S. Susanto (1985) menjelaskan beberapa unsur yang terkandung dalam suatu pendapat umum, yaitu: (1) memungkinkan terjadinya pro dan kontra, terutama sebelum tercapainya suatu konsensus; (2) melibatkan lebih dari seorang, atau dalam istilah Hennessy disebut ukuran publik; (3) dinyatakan, yakni opini yang  dikomunikasikan secara terbuka; dan (4) memungkinkan atau mengundang adanya tanggapan. Selain itu, pembentukan pendapat umum juga ikut dipengaruhi oleh jarak geografis, pengetahuan, dan sikap khalayak. Karena itu, seseorang atau sekelompok orang yang bermaksud membangun opini publik, selayaknya mengetahui kondisi khalayak yang sebenarnya, serta perlu mengupayakan agar sikap khalayak yang bersangkutan dapat menguntungkan.

Referensi
Muhtadi, Asep Saiful. 2008. Komunikasi politik Indonesia: Dinamika Islam Politik Pasca Orde Baru. Bandung: Remaja Rosdakarya
Susanto, Astrid S. 1985. Komunikasi Sosial di Indonesia. Bandung: Bina Cipta
Yayasan Obor Indonesia
Hennessy, Bernard. 1975. Essentiaoof Public Opinion. Massachusetts: Duxbury Press
Kousoulas, D. George. 1979. On Goverment and Politics. Massachusetts: Duxbury Press
Nasution, Zulkarimein. 1990. Komunikasi Politik: Suatu Pengantar. Jakarta: Ghalia Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar