Komunikasi
politik pada dasarnya merupakan salah satu bentuk dari banyak bentuk
komunikasi, baik dari sisi jumlah pelakunya yang relatif sederhana seperti
halnya komunikasi antar persona maupun dalam bentuk yang lebih kompleks seperti
halnya komunikasi yang dilakukan oleh suatu lembaga, maka dalam prosesnya ia
tidak terlepas dari dimensi-dimensi komunikasi pada umumnya. Seperti dalam
bentuk-bentuk komunikasi lainnya, komunikasi politik berlangsung dalam suatu
proses penyampaian pesan-pesan tertentu untuk mencapai suatu tujuan tertentu
pula. Dimensi-dimensi inilah pada dasarnya yang memungkinkan terjadinya suatu
kegiatan komunikasi politik dalam suatu masyarakat. Sehingga keluaran (output) komunikasi politik pada akhirnya
akan ditentukan oleh dimensi-dimensi tersebut secara keseluruhan.
Menurut Asep Saiful Muhtadi (2008),
ada beberapa komponen penting yang terlibat dalam proses komunikasi politik. Pertama, komunikator dalam komunikasi
politik, yaitu pihak yang memprakarsai dan mengarahkan suatu tindak komunikasi.
Seperti dalam peristiwa komunikasi pada umumnya, komunikator dalam komunikasi
politik dapat dibedakan dalam wujud individu, lembaga ataupun berupa kumpulan
orang.
Dalam pandangan Dan Nimmo (2005),
komunikator politik ini memainkan peran-peran sosial yang utama, terutama dalam
proses pembentukan opini publik. Para pemimpin organisasi ataupun juru bicara
partai-partai politik adalah pihak-pihak yang menciptakan opini publik, karena
mereka berhasil membuat sejumlah gagasan yang mula-mula ditolak, kemudian
dipertimbangkan, dan akhirnya diterima publik. Karena itu, lanjut Dan Nimmo,
sikapnya terhadap khalayak serta martabat yang diberikannya kepada mereka
sebagai manusia dapat mempengaruhi komunikasi yang dihasilkannya. Baik sebagai
sumber individual maupun kolektif, setiap komunikator politik merupakan pihak
potensial yang ikut menentukan arah sosialisasi, bentuk-bentuk partisipasi,
serta pola-pola rekrutmen massa politik untuk mencapai tujuan yang telah
ditentukan.
Kedua, khalayak komunikasi politik,
yaitu peran penerima yang sebetulnya hanya bersifat sementara. Sebab, seperti
konsep umum yang berlaku dalam komunikasi, ketika penerima itu memberikan feedback dalam suatu proses komunikasi
politik, atau pada saat ia meneruskan pesan-pesan itu kepada khalayak lain
dalam kesempatan komunikasi yang berbeda, maka pada saat itu peran penerima
telah berubah menjadi sumber atau komunikator.
Khalayak komunikasi politik dapat memberikan respon atau umpan balik,
baik dalam bentuk pikiran, sikap maupun perilaku politik yang diperankannya. Dalam berbagai riset tentang sosialisasi
politik, menurut Kraus dan Davis (1978), diperoleh indikasi bahwa komunikator
tahap kedua (yang sebelumnya berperan sebagai khalayak) memainkan peran yang
signifikan pada komunikasi berikutnya.
Untuk melihat karakteristik khalayak
komunikasi politik, penting untuk mengungkap klasifikasi khalayak dari Dan Nimmo
(2006), yang membagi khalayak ke dalam tiga tipe publik opini yang tak
terorganisasi: publik atentif, publik berpikiran isu, dan publik ideologis.
Publik atentif adalah seluruh warga negara yang dibedakan atas dasar
tingkatannya yang tinggi dalam keterlibatan politik, informasi, perhatian, dan
berpikiran kewarganegaraan. Publik berpikiran isu adalah bagian dari publik
atentif yang lebih tertarik pada isu khusus ketimbang pada politik pada
umumnya. Sedangkan publik ideologis adalah kelompok orang yang memiliki sistem
kepercayaan yang relatif tertutup, dengan menggunakan ukuran nilai-nilai suka
dan tidak suka. Mereka menganut kepercayaan dan atau nilai-nilai yang secara
logis saling melekat dan tidak berkontradiksi satu sama lain.
Ketiga, saluran-saluran komunikasi
politik, yakni setiap pihak atau unsur yang memungkinkan sampainya pesan-pesan
politik. Dalam hal-hal tertentu, memang terdapat fungsi ganda yang diperankan
unsur-unsur tertentu dalam komunikasi. Misalnya, dalam proses komunikasi
politik, birokrasi dapat memerankan fungsi ganda. Di satu sisi, ia berperan
sebagai komunikator yang menyampaikan pesan-pesan yang berasal dari pemerintah;
dan di sisi lain, ia juga dapat berperan sebagai saluran komunikasi bagi
lewatnya informasi yang berasal dari khalayak masyarakat.
Selain
saluran komunikasi antar pribadi seperti banyak terjadi di masyarakat, unsur
yang tidak kalah pentingnya dalam proses penyampaian pesan-pesan politik adalah
media massa. Secara historis, penelitian efek media massa dalam perilaku
politik telah cukup memperlihatkan besarnya peran media massa dalam kegiatan
komunikasi politik khususnya di Amerika (Muhtadi, 2008). Di Indonesia, di
samping belum banyak penelitian tentang hal tersebut, penggunaan media massa
dalam kegiatan kampanye politik dalam pemilu tampaknya mulai meningkat. Efek
politis komunikasi massa ini, menurut Blumler dan Gurevitch (1982), terjadi
terutama karena secara umum media massa
memiliki efek potensial yang sangat besar pada khalayaknya. Lebih-lebih karena
pemberitaan di media, menurut Agus Sudibyo (2001), senantiasa dirumuskan sarat
dengan muatan-muatan etika, moral, dan nilai-nilai. Para jurnalis sendiri,
lanjut Agus Sudibyo, bukanlah robot yang dapat diprogram untuk senantiasa
melaporkan fakta secara apa adanya. Sehingga pada gilirannya, media bukan saja
berfungsi sebagai saluran informasi politik, tapi juga berperan sebagai
kekuatan sosial yang ikut menentukan perubahan-perubahan di dalam masyarakat.
Referensi
Blumler dan Gurevitch. 1982. The Political Effects of Mass Communication, dalam Michael
Gurevitch et. al (editors), Culture,
Society and the Media. New York: Muthuen
Kraus, Sidney and Davis, Dennie. 1976. The Effects of Mass Communication on
Political Behavior. Pennsylvania: The Pennsylvania State University Press
Muhtadi,
Asep Saiful. 2008. Komunikasi politik Indonesia: Dinamika Islam
Politik Pasca Orde Baru. Bandung: Remaja Rosdakarya
Nimmo, Dan. 2006. Komunikasi Politik. Khalayak
dan Efek. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Sudibyo, Agus. 2001. Politik Media dan Pertarungan Wacana. Yogyakarta: LkiS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar